Selasa, 08 November 2022

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.    Latar Belakang

Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisisi ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah.[1]

Bukan hanya di Indonesia saja, juga di belahan dunia lain tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat dimaklumi, karena mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam suatu negara, bahkan juga terhadap kehidupan antarnegara.[2]

Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap yaitu elitis, endemic, dan sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau lapisan masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu didalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini telah sampai pada tahap sistemik.[3]

Banyak ahli menyatakan bahwa penyakit korupsi telah melebar ke segala lapisan dalam struktur pemerintahan. Korupsi telah menjadi isu sentral, bahkan sangat popular melebihi isu apapunyang muncul di Indonesia. Trend perilaku korupsi tampak semakin endemis yang merambah dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan suatu yang biasa dan seakan-akan telah membudaya dalam masyarakat Indonesia.[4]

Pada masa orde baru korupsi dilakukan oleh orang-orang di sekitar pemegang kekuasaan. Kecenderungan sekarang melebar ke lembaga-lembaga legislatif dari tingkat daerah/kota propinsi hingga pusat, hampir semua jabatan memerlukan pengesahan dari legislatif sudah punya tarif.[5] Kegagalan ini sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara serta menghambat jalannya pembangunan yang berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit diperbaiki.

Menghadapi kenyataan yang sangat memperihatinkan tersebut, dibutuhkan konsistensi Pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan tindak pidana korupsi, yang harus dilakukan secara nyata dan menyeluruh dalam proses penegakkan hukumnya (law enforcement) di Indonesia. Ditengah upaya Pembangunan Nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya pun semakin meningkat. Hal ini tentu saja tidak dapat terwujud begitu saja jika tidak didukung oleh adanya penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan mdengan tetap menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan kepentingan masyarakat.

Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman yang nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.[6]

Kasus korupsi yang banyak di Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang sangat sulit diselesaikan oleh pemerintah, karena hal ini sangat berkaitan dengan penyelenggara Negara baik di tingkat pusat maupun provinsi, dan kabupaten/kota. Masyarakat sebagian masih melihat kasus korupsi terjadi melalui media elektronik maka yang terlihat adalah kasus korupsi yang merugikaan negara bermilyar-milyar rupiah, sehingga kerugian negara yang timbul sangat mencolok karena hal tersebut maka kasus korupsi yang terjadi dengan secepatnya berusaha diselesaikan.

Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman,bagaimana cara penanggulangannya, demikian pula perkembangan korupsi.

Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk memberantas tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah akan tetapi miliaran rupiah bahkan mencapai triliunan rupiah. Disisi yang lain, korupsi tidak hanya memasuki lingkungan eksekutif saja, tetapi juga berkembang di lingkungan yudikatif dan legislatif.

Upaya serius dari Pemerintah untuk menciptakan penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN kemudian diwujudkan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Selanjutnya, sebagai upaya pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pemerintah berusaha mewujudkannya dengan diundangkannya Undag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti dari UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dan masyarakat pada saat ini. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 kemudian disempurnakan lagi dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian, dibuat pula Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Tindak Pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat dengan UUPTPK) adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Praktik korupsi yang terjadi dalam permasalahan kinerja pemerintahan diIndonesia menurut D. Soedjono adalah:

Fenomena masalah tentang korupsi memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, dimana ada indikasi yang mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan

pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisisi ekonomi akhirakhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar masalah.[7]

 

Tumbuh suburnya korupsi di Indonesia tentu perlu dilakukan upaya penanggulangan yang sangat serius melalui politi kriminal baik melalui upaya penal yang bersifat menanggulangi setelah terjadinya kejahatan (represif), upaya non penal yang bersifat mencegah terjadinya kejahatan (preventif), ataupun gabungan keduanya.[8] Sangat perlu diingat bahwa kini korupsi sudah bukan sekedar kejahatan luar biasa atau “extra ordinary crime”, melainkan korupsi kini telah menjadi kejahatan kemanusiaan atau “crime against humanity.”[9]

Menarik untuk diteliti mengenai politik kriminal atau kebijakan hukum pidana mengenai penanggulangan tindak pidana korupsi di Indonesia pada era reformasi, hal ini dikarenakan bahwa selama sembilan belas tahun agenda reformasi dijalankan namun tuntutan pemberantasan korupsi tidak mengalami keberhasilan yang signifikan bahkan pelaku-pelaku korupsi saat ini melibatkan para penggerak reformasi pada saat itu.[10]

Selain daripada itu, setelah sekian instrumen hukum telah diterbitkan pertama kali berupa Peraturan Penguasa Militer tahun 1957 sampai saat ini tercatat berjumlah sekitar dua puluh undang-undang, peraturan pemerintah/penguasa militer, dan penindakan oleh aparat penegak hukum terus dilakukan terhadap para koruptor, namun praktik-praktik korupsi dalam era reformasi ini tetap marak, masif, dan tidak kalah ganasnya dengan masa tiga puluh tahun Orde Baru memerintah.[11]

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, terdapat permasalahan dalam perundang-undangan pemberantasan korupsi. Permasalahan tersebut dapat berupa permasalahan dalam rumusan perundang-undangnya atau permasalahan pelaksanaan perundang-undangnya yang belum optimal. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk menulis paper yang berjudul KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA.”

Berdasarkan judul tersebut, maka ada dua rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: (1) Bagaimana upaya penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ?; dan (2) Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap Peraturan Perundang-undangan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ?.


B.  Makna Kebijakan Hukum Pidana

1.        Pengertian Politik Hukum

Perdebatan mengenani hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Kalangan penganut aliran positivisme hukum beranggapan hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain kalangan yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum sesuai kenyataan-kenyataan sosial yang dalam dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.[12]

Dalam mencari pola hubungan antara hukum dan politik ini, terutama berangkat dari dua perspektif yang bertolak belakang, perlu dicermati dengan saksama Daniel S. Lev yang mengungkapkan bahwa: “hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik.[13] Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu : (i) Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (ii) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa kenyataannya, baik prodek normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. (iii) Politik dan Hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.”[14]

Selanjutnya, politik hukum menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kpemimpinan, dan cara bertindak dalam hukum.[15]

Menurut Padmo Wahjono, mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan artikelnya di majalah Forum Keadilan yang berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”. Dalam artikel tersebut, Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini, kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.[16]

Dari kedua definisi yang diberikan oleh Padmo Wahjono, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat dasar dalam menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlakudi masa datang (ius constituendum).[17]

Sedangkan menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.[18]

Politik hukum sebagai bagian dari ilmu hukum, yang meneliti perubahan hukum yang berlaku, yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntunan baru kehidupan masyarakat, penyelidikan-penyelidikan dari politik hukum, terhadap segala perubahan, apakah yang harus diadakan oleh hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Hukum yang lama dapat dipertimbangkan untuk kaidah-kaidah dan stelsel hukum yang akan datang. Sehingga dapat juga dimaknai bahwa hukum sebagai dessein ditetapkan oleh politik.[19]

 

2.        Kebijakan Hukum Pidana

Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan.[20]

Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif).

Kebijakan legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi. Menurut Sudarto,[21] kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.

Berangkat dari pengertian politik hukum sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka politik hukum pidana dapat pula diartikan sebagai kebijakan hukum pidana.[22] Politik hukum pidana (legal policy) adalah arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.[23]

Pengertian politik kriminal (Criminele Politiek, Criminal Policy), yakni kebijakan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan.[24] Dalam kaitan itu, maka dikenal pula beberapa pengertian yang saling berkaitanantara kebijakan kriminal yaitu: kriminalisasi, penalisasi. Sehingga politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Garis kebijakan hukum pidana adalah untuk menentukan:

a.         Seberapa jauh ketenuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;

b.         Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;

c.         Bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.[25]

 

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal policy).[26]

Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah tin-dakan yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak meluas atau menjadi parah.[27]

Sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan prefentif sebelum terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan prefentif adalah tindakan yang mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya kejadian. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non-penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah me-nangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.[28]

C.  Tindak Pidana Korupsi

Sebelum membahas pengertian tindak pidana korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian tindak pidana. Tindak Pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana.[29] Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Menurut Roeslan Saleh, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya.[30]

Menurut Leden Marpaung, kata tindak pidana merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda delict (Indonesia: delik). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan: “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana.”[31]

Selanjutnya, istilah korupsi menurut M. Prodjohamidjojo sebagaimana dikutip Evi Hartanti, berasal dari bahasa Latin “corruption”atau "corruptus" yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi dengan menggunakan Bahasa kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin "corruptio" yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan hukum.[32]

Menurut Lilik Mulyadi, bahwa yang dikatakan korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.[33]

Hibnu Nugroho mendefinisikan korupsi dari sudut pandang sosiologis bahwa “apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan dari seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi”.[34]

Berdasarkan pengertian tersebut bahwa dalam arti hukum tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan yang menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut.


D. Penegakan Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Indonseia sebagai negara hukum saat ini sedang dalam tahapan membangun kembali tatanan hukumnya yang terlanjur rusak oleh rezim Orde Baru. Demikian pula dengan rule of law merupakan cita-cita yang saat ini ditata ulang oleh bangsa yang peduli dan menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Konsep negara hukum Indonesia terlihat ideal dan rule of law sebenarnya tercakup dalam konsep tersebut. Jika konsep negara hukum diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip idealnya, maka rule of law pasti akan terwujud.[35]

Untuk dapat menegakkan rule of law, paling tidak harus memenuhi tiga hal pokok, yaitu: (i) hukum yang diciptakan harus responsive terhadap tuntutan akan rasa keadilan rakyat dan bersih dari intervensi apapun, (ii) peradilan yang bersih dari KKN dan mafia peradilan, dan (iii) adanya akses publik ke lembaga peradilan yang harus senantiasa ditingkatkan. Jika ketiga aspek diatas dapat diwujudkan, maka dengan sendirinya rule of law akan menjelma sebagai jiwa dari hukum yang bertujuan mengakkan keadilan.[36]

Selanjutnya, dalam rangka untuk penegakan hukum, paling tidak harus didukung oleh beberapa faktor, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Penegakan hukum dikatakan berhasil jika diantara faktor-faktor pendukung tersebut dapat berjalan secara sinergi dan saling menunjang satu sama lain. Untuk itu, sinergi dapat dibentuk dalam sebuah sistem yang dirancang sebagai pedoman dalam pelaksanaan penerapan hukum melalui penerapan kebijakan dan politik hukum pidana (criminal policy). Dalam mekanisme kerjanya, sistem tersebut melibatkan sub-sub sistem yang saling berhubungan secara sistematis, yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP, “criminal justice system”)

Menurut Mardjono Reksodiputro, secara luas sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai:

Suatu proeses dimana seorang tersangka yang melakukan tindak pidana diperiksa, dituntut, diadili, dan selanjutnya dijatuhi hukuman. Dengan demikian, sistem peradilan pidana merupakan langkah konkrit (in concreto) dalam penegakan hukum pidana in abstracto.[37]

Selanjutnya, tentang upaya penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan, Atidjo Alkostar menyatakan bahwa:

“Upaya penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan dan penegakan hukum pidana sebenarnya telah lama dilakukan. Namun harus diakui bahwa korupsi itu masih tetap ada dan sulit untuk diberantas. Hal itu disebabkan korupsi berkaitan dengan berbagai kompleksitas masalah lainnya seperti masalah sikap mental atau moral, masalah pola atau sikap hidup dan upaya soaial, masalah kebutuhan atau tuntutan ekonomi, struktur atau sistem ekonomi, struktur budaya atau politik, masalah peluang yang ada di dalam mekanisme pembangunan dan sekaligus kelemahan birokrasi atau prosedur administrasi, termasuk sistem keuangan dan pelayanan umum. Mengingat kompleksnya, kebijakan penanggulangan korupsi memang tidak dapat diatasi secara fragmentaris, tetapi harus dilakukan secara utuh dan integral. Harus ada upaya dengan terapi kausatif dengan melihat semua faktor peluang ataupun penyebab yang terkait dengan korupsi dan bukan hanya melalui penyembuhan simptomatik yang terbatas hanya pada gejala dan bagian permukaan saja.”[38]

Lebih lanjut, Syaiful Bakhri menyatakan bahwa ada beberapa perspektif korupsi di tahun 2009 yang dapat menjadi perhatian penegak hukum ke depan, khususnya Kejaksaan Agung, Polri atau KPK:

Pertama, korupsi sistemik atau korupsi kelembagaan merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya, tetapi tumbuh subur sejalan dengan kekuasaan, ekonomi, hukum dan politik. Secara konseptual, pada negara berkembang pemikiran bahwa korupsi merupakan bagian dari kekuasaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri menjadi tidak diragukan. Oleh karena itu, penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem yang ada. Kedua, melakukan tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system. Artinya, antara penegak hukum harus memiliki balanced and equal power yaitu memiliki suatu kewenangan yang berimbang dan sama diantara penegak hukum. Hal ini untuk menghindari diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum terhadap korupsi. Selain itu, diskriminasi kewenangan akan menimbulkan disintegrasi penegakan hukum, kewenangan diskriminatif antara KPK di satu sisi dan Kejaksaan Agung/Polri disisi lain harus ditiadakan. Ketiga, pendekatan pendekatan sistem ini dilakukan secara simultan dan terintegrasi dengan pendekatan up-down, bukan bottom-up yang selama ini terjadi. Kejaksaan Agung dengan minimnya kewenangan telah memberika citra tersendiri dengan menetapkan pejabat eselon I departemen sebagai tersangka sekaligus memperhatikan hak tersangka. Ini merupakan status yang tidak pernah terjadi sejak era reformasi.[39]

Dari semua persoalan yang ada, dapat dikatakan bahwa amat berarti peran kebijakan kriminal (criminal policy) melalui pendekatan non-penal. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan langkah kampanye anti korupsi. Kampanye semacam ini diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power), dan institusi kenegaraan (sebagai political power).[40]

 

E. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Politik perundang-undangan adalah subsistem hukum. Oleh karena itu, politik perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari politik hukum. Politik perundang-undangan diartikan sebagai kebijaksanaan atau mengenai penentuan isi atau objek pembentukan peraturan perundang-undangan.[41]

Politik mengenai tata cara pembentukan terkait dengan sistem hukum dan instrumen hukum yang dipergunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik penerapan hukum berkaitan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan di bidang hukum. Politik penegakan hukum berkaitan dengan sendi-sendi sistem kenegaraan seperti negara berdasarkan atas hukum. Secara internal ada dua lingkup utama politik hukum:

1.  Politik pembentukan hukum baik mengenai tata cara maupun isi peraturan perundang-undangan adalah kebijaksanaan yng terkait dengan penciptaan, pembaruan, dan pengembangan hukum, mencakup; kebijaksanaan pembentukan undang-undang, kebijaksanaan pembentukan hukum yurisprudensi, kebijaksanaan terhadap peraturan tidak tertulis;

2. Politik penerapan dan penegakan hukum adalah kebijaksanaan yang bersangkut paut dengan kebijaksanaan di bidang peradilan dan cara-cara penyelesaian hukum di luar proses peradilan, kebijaksanaan dibidang pelayanan hukum. Antara kedua aspek politik hukum tersebut, sekadar dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena :

a. Keberhasilan suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada penerapannya;

b.  Putusan-putusan dalam rangka penegakan hukum merupakan instrumen kontrol bagi ketepatan atau kekurangan suatu peraturan perundang-undangan. Putusan-putusan tersebut merupakan masukan bagi pembaharuan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan;

c. Penegakan hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan.[42]

Mengenai kebijakan hukum pidana bidang pembentukan peraturan perundang-undangan diluar KUHP dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah ada sejak masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Pemberantasan Korupsi pada Orde lama, dilakukan dengan :

  1. Peraturan Penguasa Militer Nomor: Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957;[43]
  2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat Nomor: Prt/Paperpu/013/1958, tanggal 16 April 1958, tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958);[44]
  3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN Nomor 72 Tahun 1960);[45]
  4. Pembentukan Panitia Retooling Aparatur Negara (PERAN) dengan dasar hukum dikeluarkannya UU Keadaan Bahaya;
  5. Operasi Budhi dasar pembentukannya Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963 dengan tugas menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek Korupsi dan Kolusi; dan
  6. Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.[46]

Pemberantasan Korupsi pada Orde lama, dilakukan dengan:

1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;[47]

2.  Tim Pemberantasan Korupsi diketuai oleh Jaksa Agung;

3. Komite Empat dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain; dan

4. Operasi Tertib semasa Sudomo sebagai Pangkopkamtib dengan tugas memberantas Korupsi.[48]

 

Terakhir pada era reformasi, semangat yang menggebu-gebu sebagai wujud era baru, kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi memaksa pemimpin negara pada saat itu untuk segera bertindak agar dinilai berpihak kepada rakyat. Pada masa ini lahirlah undang-undang pemberantasan korupsi yang dinanti-nanti oleh masyarakat luas dan menjadi tumpuan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai negara madani yang bebas korupsi. Undang-Undang itu adalah UU No. 31 tahun 1999 pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie.

Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dipimpin oleh jaksa agung yang beranggotakan jaksa, polisi dan anggota masyarakat yang kemudian dibubarkan berdasarkan Putusan MA RI atas judicial review terhadap pembentukan TGPTPK dan putusan Praperadilan Nomor 11/Pid/Prap/2000/PN.JAKSEL di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus hakim Agung Ny. Hj. Harnis, Kahar, S.H. dan Ny. Hj. Supraptini Sutarto, S.H.[49]

Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, KPK mulai menjalankan fungsinya, walaupun belum lengkap perangkat hukumnya. Pada tahun 2004 KPK sudah melakukan penyidikan dan persidangan terhadap Gubernur NAD Abdullah Puteh dengan dakwaan tindak pidana korupsi terkait dengan pembelian helikopter yang menurut KPK terdapat mark-up.[50]

Setelah presiden Susilo Bambang Yudoyono terpilih, disamping keberadaan KPK, dibentuk Tipikor dibawah Jaksa Agung dengan tujuan menuntaskan perkara-perkara dugaan korupsi yang belum ditangani kejaksaan dan perkara-perkara lainnya yang merupaka hasil penyidikan kejaksaan. Pada tahun 2008 KPK menggebrak dunia hukum dengan penyidikan disertai dengan penangkapan terhadap oknum kejaksaan agung, anggota DPR RI dan pejabat-pejabat Bank Indonesia. Hal menggemparkan yang berkaitan dengan korupsi adalah penggeledahan KPK terhadap beberapa ruangan digedung DPR-MPR RI yang semula menuai penolakan dan ketidaksetujuan dari unsur pimpinan DPR RI.[51]

Secara singkat, kebijakan hukum pidana dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi pada era reformasi terdapat berbagai peraturan mengenai tindak pidana korupsi, antara lain:

1. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN;

2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan NegarayangBersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepostime (LembaranNegara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3851);

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Tahun 1999 Nomor 140,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3874) yang telah mengubahUndang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.

4.   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun. 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).

5.Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi PemberantasanTindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002Nomor 137, Tambahan. Lembaran Negara Republik Nomor 4250).[52]

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga meratifikasi instrumen hukum internasional yakni dengan meratifikasi United Nations Convention Againts Corruption 2003 (UNCAC 2003). Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama Internasional.

E. PENUTUP

       Kesimpulan

Berdasarkan permasalahan yang menjadi perhatian dalam makalah ini yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut:

1. Penegakan hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni:

a. Memperbaiki sistem yang ada, sistem harus ditelaah sebagai kesatuan yang meliputi tindakan reevaluasi, reposisi, dan pembaruan (reformasi) terhadap struktur, substansi hukum, khususnya budaya hukum;

b.  Melakukan tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system. Artinya, antara penegak hukum harus memiliki balanced and equal power yaitu memiliki suatu kewenangan yang berimbang dan sama diantara penegak hukum;

c. Pendekatan sistem ini dilakukan secara simultan dan terintegrasi dengan pendekatan up-down, bukan bottom-up yang selama ini terjadi.

2. Kebijakan hukum pidana bidang pembentukan peraturan perundang-undangan diluar KUHP dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dalam tinjauan sejarah sudah ada sejak masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Selain itu, politik hukum dalam pembaruan KUHP (RUU KUHP) dan peraturan perundang-undangan lain diluar KUHP dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi terus dilakukan oleh pemerintah.


    Saran

1.  Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, seyogianya dilakukan dengan mengikuti formulasi pidana yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, serta mengacu pula terhadap modernisasi pemidanaan.

2. Untuk mendukung penegakan hukum tersebut, maka diperlukan kebijakan hukum dalam rangka pembaruan hukum pidana di bidang tindak pidana korupsi.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Abu Fida’ Abdur Rafi’, 2006, Terapi Penyakit Korupsi dengan Takziyatun Nafs (Penyucian Jiwa), Jakarta: Republika.

Adrian Sutendi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Sinar Grafika.

Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Raih Asa Sukses.

Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Artidjo Alkostar, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta: FH UII Press.

Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta: Kencana.

Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, 2009, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-II, Bandung: Refika Aditama.

Chairul Huda, 2015, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Mneuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Ke-VI, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

D. Soedjono, 2013, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ermansjah Djaja,2013, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), (Jakarta: Sinar Grafika,

Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.

Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: Media Aksara Prima.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013, Politik Hukum, Jakarta: Rajawali Press.

Leden Marpaung, 2001, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta: Djambatan.

_______________, 2012, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. Ke-VII, Jakarta: Sinar Grafika.

Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Bandung: Alumni.

M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.

Moh Hatta 2010, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Moh. Mahfud MD, 2014, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Ke-VI, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ruben Achmad, 2014, Penafsiran dalam Politik Hukum Pidana, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Cet. Ke-III, Jakarta. Storia Grafika,

Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Syaiful Bakhri, 2009, Pidana Dendan dan Korupsi, Yogyakarta: Total Media.

____________, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.

_____________, 2015, Nutrisi Keilmuan Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana,Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebiajakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tongat, 2008, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.

 

UNDANG-UNDANG:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

INTERNET :

Effendy Choiry, Anggota Komsi I DPR RI , Sabtu 19 Mei 2012 dalam Kompas.com,  Agenda Reformasi Dikhianati, diakses pada Rabu, 25 April 2018.

KPK Tangani Korupsi Abdullah Puteh, https://news.detik.com/berita/129918/kpk-tangani-korupsi-abdullah-puteh, diakses pada Rabu, 25 April 2018.

Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, https://www.beritatransparansi.com/pemberantasan-korupsi-pada-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/, diakses pada Rabu, 25 April 2018.

Sejarah Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, https://polmas. wordpress.com/2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/, diakses pada Rabu, 25 April 2018.



[1] Adrian Sutendi, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 189.

[2] Ermansjah Djaja,Memberantas Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 3.

[3] Abu Fida’ Abdur Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi dengan Takziyatun Nafs (Penyucian Jiwa), (Jakarta: Republika, 2006), hlm. xxi.

[4] Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011), hlm. 146.

[5] Leden Marpaung,Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta: Djambatan, 2001), hlm. 27. 

[6] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 6.

[7] D. Soedjono, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 189.

[8] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 77-78.

[9] Moh Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 61.

[10] Effendy Choiry, Anggota Komsi I DPR RI , Sabtu 19 mei 2012 dalam Kompas.com,  Agenda Reformasi Dikhianati, diakses pada 1 Nopember 2017.

[11] Moh. Hatta, Op. Cit, hlm. 198.

[12] Syaiful Bakhri, Nutrisi Keilmuan Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2015), hlm. 172.

[13] Ibid.

[14] Moh Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum dalam Syaiful Bakhri, Ibid, hlm. 173.

[15] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Politik Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 22.

[16] Padmo Wahjono dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Ibid, hlm. 26.

[17]Ibid, hlm. 26-27.

[18]Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Ke-VI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 1.

[19]Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 6-7

[20] M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 1.

[21] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.

[22] Istilah kebijakan berasal ari kata “Policy” (Inggris) atau “Politiek” (Belanda). Politik hukum pidana dalam kepustakaan dikenal juga dengan istilah “Penal Policy”, “Crimnal Law Policy”, atau “Straftrechtspolitiek”. Lihat Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm.13.

[23]Tongat, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 47

[24]Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 90.

[25]Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal, Op. Cit, hlm. 15.

[26]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebiajakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 39.

[27]Ibid.

[28]Ibid.

[29] S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Cet. Ke-III, (Jakarta. Storia Grafika, 2002), hlm. 204.

[30]Roeslan Saleh dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Mneuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana,Cet. Ke-VI, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015), hlm. 29.

[31]Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. Ke-VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 7.

[32] Evi Hartanti, Op. Cit, hlm. 7.

[33] Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 88.

[34] Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Media Aksara Prima, 2012), hlm.36

[35] Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-II, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 114.

[36] Ibid.

[37] Mardjono Reksodiputro, dalam Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, Ibid.

[38] Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press, 2008), hlm. 347.

[39] Syaiful Bakhri, Pidana Dendan dan Korupsi, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 389-391.

[40] Ibid, hlm. 391.

[41] Ruben Achmad, Penafsiran dalam Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 46.

[42] Ibid, hlm. 47.

[43] Ermansjah Djaja, Op. Cit, hlm. 34.

[44] Ibid, hlm, 35.

[45] Ibid, hlm. 37.

[46] Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, https://www. beritatransparansi.com/pemberantasan-korupsi-pada-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/, diakses pada Rabu, 25 April 2018.

[47] Ermansjah Djaja, Op. Cit,  hlm. 38.

[48] Ibid.

[49] Ibid.

[50] KPK Tangani Korupsi Abdullah Puteh, https://news.detik.com/berita/129918/kpk-tangani-korupsi-abdullah-puteh, diakses pada Rabu, 25 April 2018.

[51] Pemberantasan Korupsi Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, https://www.berita transparansi.com/pemberantasan-korupsi-pada-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/, diakses pada Rabu, 25 April 2018.

[52] Sejarah Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, https://polmas.wordpress.com/ 2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/, diakses pada Rabu, 25 April 2018.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...